Nah, sebelumnya, Sobat Data sudah tahu belum?
BPS sebagai penyedia data statistik berkualitas tentunya tidak mengambil data secara asal-asalan, tetapi sudah berstandar nasional dan internasional.
Membahas isu terhangat tentang Negara Perekonomian Menengah Ke Atas, Indonesia telah masuk dalam kategori ini sejak tahun 2023, dengan GNI (Gross National Income) per kapita US$ 4.580 hingga US$ 14.005, atau setara dengan Rp 73.791,44 juta hingga Rp 236.930,00 juta per kapita per tahun atau Rp 6.149,25 juta - Rp 19.744,17 juta per kapita per bulan.
Adapula data Garis Kemiskinan Bank Dunia, tercatat US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp 5.993,03. Kemiskinan ekstrim pada US$ 2,15 per kapita per hari (setara Rp 12.885) untuk negara berpendapatan rendah, US$ 3,65 per kapita per hari untuk lower-middle income, dan US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah atas.
Lalu, bagaimana implikasi datanya?
Dengan populasi Indonesia yang kini mencapai 285,1 juta jiwa (sumber: data susenas BPS, 2024), angka tersebut menunjukkan bahwa ada lebih dari 172 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan global, dimana tercatat sampai bulan September 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan penetapan garis kemiskinan menurut Bank Dunia (sebesar Rp 1.231.560 per kapita per bulan) dan menurut BPS (Rp 595.242 per kapita per bulan).
Selanjutnya, bolehkah klasifikasi negara berdasarkan PDB?
Perlu Sobat Data ingat, bahwa PDB bukanlah Pendapatan Negara. Analoginya, utang luar negeri Indonesia saat ini sekitar 430,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 7.144,6 triliun, dimana utang ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Utang SBN Domestik mencapai sekitar Rp 7.800 triliun atau 87,74% dati total utang. Maka jika utang tersebut dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia (Rp 7.800.000.000.000.000 : 285.100.000 = Rp 27.358.821) artinya setiap penduduk terhitung memiliki utang sebesar Rp 27.358 juta. Apakah Sobat Data merasa memiliki utang sebesar demikian?
Demikianlah dengan PDB, tidak bisa menjadi ukuran pendapatan negara. Akan tetapi, PDB bisa digunakan untuk mengukur output ekonomi yang mencakup semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara dalam jangka waktu tertentu, dan bisa digunakan sebagai indikator pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara. Jika output ekonomi suatu negara meningkat, dapat disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa kutipan dari dosen sekaligus peneliti muda Universitas Gadjah Mada, Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D. mengemukakan "Untuk Indonesia hasil metode Bank Dunia lebih cocok disebut sebagai kerentanan (miskin). PPP yang digunakan Bank Dunia adalah PPP Urban, sedangkan Indonesia lebih dominan wilayah rural", dan menurut Amirullah Setya Hardi, S.E., Cand.Oecon., Ph.D. bahwasanya "Menghitung output lebih mudah dari pada menghitung outcome."
Lalu apa kaitannya dengan Ekonometri?
Dari data statistik yang ada, peneliti harus menganalisis data ekonomi dan menguji berdasarkan teorinya. Sehingga data tersebut bisa dipergunakan sebagai bukti empiris dalam mengambil sebuah kebijakan ekonomi. Juga dapat memberikan kekuatan secara teoritis dalam menjelaskan perilaku unit-unit ekonomi yang diamati.
Mau belajar lebih banyak terkait data-data Ekonomi?
Yuk bisa datang ke Kantor BPS Gunungkidul, atau bisa juga ke Pojok Statistik Universitas Gunung Kidul yang ada di Kampus 2 UGK lantai 2, atau bisa juga akses melalui web resmi BPS: https://www.bps.go.id/id (untuk data se-Indonesia), https://gunungkidulkab.bps.go.id/id (untuk data Kabupaten Gunungkidul).